-->

Puasa Arafah Tanggal 9 Dzulhijjah atau Harus Dikerjakan Bersamaan Dengan Jama'ah Haji yang Sedang Wukuf?

Puasa Arafah Tanggal 9 Dzulhijjah atau Harus Dikerjakan Bersamaan Dengan Jama'ah Haji yang Sedang Wukuf?

Apakah Puasa Arafah harus dikerjakan bersamaan dengan jama’ah haji yang sedang berwukuf ? Jika terjadi perbedaan dalam menentukan tanggal 9 Dzulhijjah, antara pemerintah Indonesia dan yang lainnya dengan pemerintah Saudi, mana yang harus diikuti? Penjelasan berikut ini insyaallah akan dapat menghilangkan kebingungan dan keraguan Anda.

Jawab

Alhamdulillaah, was shalaatu was salaamu ‘ala Rasuulillaah, ammaa ba’du.

Jamak diketahui oleh para pengkaji  dalam permasalahan ini, bahwa para 'Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Berikut ini penjelasan dan uraiannya:

Pendapat pertama: Puasa arafah mengikuti wuquf di arafah.

Ini merupakan pendapat Lajnah Daimah (Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiyah) Arab Saudi. Mereka berdalil dengan pengertian hari arafah, bahwa hari arafah adalah hari dimana para jamaah haji wukuf di Arafah. Tanpa memandang tanggal berapa posisi hari ini berada.

Dalam salah satu fatwanya tentang perbedaan tanggal antara tanggal 9 Dzulhijjah di luar negeri dengan hari wukuf di arafah di Saudi, Lajnah Daimah menjelaskan,

ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻫﻮ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﻒ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻪ ﺑﻌﺮﻓﺔ، ﻭﺻﻮﻣﻪ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﻟﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺗﻠﺒﺲ ﺑﺎﻟﺤﺞ، ﻓﺈﺫﺍ ﺃﺭﺩﺕ ﺃﻥ ﺗﺼﻮﻡ ﻓﺈﻧﻚ ﺗﺼﻮﻡ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻴﻮﻡ، ﻭﺇﻥ ﺻﻤﺖ ﻳﻮﻣﺎً ﻗﺒﻠﻪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ

Hari arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa arafah dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika anda ingin puasa arafah, maka anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika anda puasa sehari sebelumnya, tidak masalah. (Fatawa Lajnah Daimah, no. 4052)

Pendapat Kedua: Puasa arafah sesuai tanggal 9 Dzulhijjah di daerah setempat.

Pendapat ini muncul karena penentuan ibadah yang terkait dengan waktu, ditentukan berdasarkan waktu dimana orang itu berada. Dan hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga penentuannya kembali kepada penentuan kalender di mana kaum muslimin berada.

ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ ﺃَﺣْﺘَﺴِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﻔِّﺮَ ﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻗَﺒْﻠَﻪُ ﻭَﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺑَﻌْﺪَﻩُ

"Puasa hari Arofah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya” (HR Muslim no 197)

Kalangan ulama berbeda pendapat terkait dengan makna kalimat ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ “Puasa hari Arofah…”.

Pendapat pertama mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah.

Masalah tersebut adalah masalah khilafiyah fiqhiyah, sehingga dibutuhkan adanya kelapangan dada untuk legowo dalam menghadapi permasalahan ini, tidak perlu ngotot apalagi menuduh orang yang berbeda pendapat dengan tuduhan yang tidak-tidak. Kita hadapi permasalahan tersebut dengan saling berlapang dada. Jika setiap permasalahan khilafiyah kita ngotot maka kita akan selalu ribut.

Permasalah tersebut pada dasarnya berangkat dari dasar yang sama, hanya berbeda dalam memahami teksnya saja. Jika seandainya Nabi Shalallahu 'alahi wa Sallam dalam hadits tersebut bersabda “Puasa Arafah lah kalian ketika para jam’ah haji sedang wukuf di padang Arafah”, tentu tidak akan muncul persoalan. Akan tetapi karena sabda nabi Shalallahu 'alahi wa Sallam berbunyi ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ “Puasa hari Arofah…”, maka muncullah perbedaan dalam memahami sabda Nabi tersebut, apakah maksudnya adalah “hari dimana para jama’ah haji sedang wukuf di Arafah”? ataukah yang dimaksud adalah “hari tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan dengan hari Arofah?”.

Dalam hal ini kami memahami bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah di wilayah Indonesia atau sesuai dengan wilayah negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, puasa Arafahnya tidak harus bersamaan dengan jama’ah haji yang sedang berwukuf di Arafah ketika terjadi perbedaan hari antara Indonesia (atau wilayah negara lain) dan pemerintah Arab Saudi.

Beberpa argumentasi dapat dikemukakan untuk mendukung pemahaman ini, yaitu :

PERTAMA : Rasulullah Shalallahu 'alahi wa Sallam telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 dzulhijjah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.

Dalam sunan Abu Dawud :

ﻋَﻦْ ﻫُﻨَﻴْﺪَﺓَ ﺑْﻦِ ﺧَﺎﻟِﺪٍ ﻋَﻦْ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗِﻪِ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﺃَﺯْﻭَﺍﺝِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﺗِﺴْﻊَ ﺫِﻱ ﺍﻟْﺤِﺠَّﺔِ ﻭَﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺷَﻬْﺮٍ ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺸَّﻬْﺮِ ﻭَﺍﻟْﺨَﻤِﻴﺲَ

Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari ‘Aasyuroo’ (10 Muharrom) dan tiga hari setiap bulan” (HR Abu Dawud)

Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbiasa puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Tatkala mengomentari lafal hadits yang berbunyi :”Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (tatkala di padang Arofah)”, Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arafah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar” (Fathul Baari 6/268)

Perlu diketahui bahwa Nabi Shalallahu 'alahi wa Sallam hanya berhaji sekali yaitu pada saat haji wadaa’- dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam pada saat itu. Hal itu menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwukuf di Arafah, tapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah.

KEDUA : Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon. Maka jika puasa Arafah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama’ah haji di padang Arafah, maka bagaimanakah puasa Arafahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Makkah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.

Demikian juga bagi yang hendak berkurban, maka sejak kapankah ia harus menahan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut?, dan kapan ia boleh memotong kambing kurbannya?, apakah harus menunggu kabar dari Makkah? yang bisa jadi datang kabar tersebut berbulan-bulan kemudian?

KETIGA : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong adalah 6 jam?.

Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Makkah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Makkah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Makkah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??

KEEMPAT : Jika atas kehendak Allah terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan (wal 'iyaadzu billaah) sehingga pada suatu tahun ternyata jama’ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama’ah yang wukuf di padang Arafah?

Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arafah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arafah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Maka barang siapa yang satu mathla’ dengan Makkah dan tidak berhaji maka hendaknya ia berpuasa di hari para jama’ah haji sedang wukuf di padang Arafah karean pada saat itu di Makkah sudah tanggal 9 Dzhulhijjah, akan tetapi jika ternyata mathla’nya berbeda -seperti penduduk kota Sorong- maka ia menyesuaikan 9 dzulhijjah dengan kalender di Sorong.

Pendapat yang kedua ini (puasa Arafah mengikuti  tanggal) adalah pendapat  yang dipilih juga oleh 'Ulama Besar Saudi Arabia, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, volume 20, hlm. 28, beliau pernah ditanya tentang perbedaan dalam menentukan hari arafah. Jawaban beliau:

ﻭﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﺃﻧﻪ ﻳﺨﺘﻠﻒ ﺑﺎﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﻤﻄﺎﻟﻊ ، ﻓﻤﺜﻼ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻬﻼﻝ ﻗﺪ ﺭﺅﻱ ﺑﻤﻜﺔ ، ﻭﻛﺎﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻫﻮ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺘﺎﺳﻊ ، ﻭﺭﺅﻱ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﺁﺧﺮ ﻗﺒﻞ ﻣﻜﺔ ﺑﻴﻮﻡ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﻌﺎﺷﺮ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻬﻢ ﺃﻥ ﻳﺼﻮﻣﻮﺍ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻷﻧﻪ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻟﻮ ﻗﺪﺭ ﺃﻧﻪ ﺗﺄﺧﺮﺕ ﺍﻟﺮﺅﻳﺔ ﻋﻦ ﻣﻜﺔ ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺘﺎﺳﻊ ﻓﻲ ﻣﻜﺔ ﻫﻮ ﺍﻟﺜﺎﻣﻦ ﻋﻨﺪﻫﻢ ، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻳﺼﻮﻣﻮﻥ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺘﺎﺳﻊ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﺍﻟﻤﻮﺍﻓﻖ ﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﻌﺎﺷﺮ ﻓﻲ ﻣﻜﺔ ، ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ، ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ ‏( ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻩ ﻓﺼﻮﻣﻮﺍ ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻩ ﻓﺄﻓﻄﺮﻭﺍ ‏)

Artinya:
"Yang benar, semacam ini berbeda-beda, sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.

Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻩ ﻓﺼﻮﻣﻮﺍ ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻩ ﻓﺄﻓﻄﺮﻭﺍ

"Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan puasa.""

Intinya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah. Meskipun kami lebih condong kepada pendapat kedua -yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 dzulhijjah berdasarkan kalender masing-masing negeri-, tetapi kami menyadari ada juga pendapat pertama yang tentu juga punya argumen kuat.

Permasalahan seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau kesalahan aqidah dan sebagainya. 

Semoga Allah mempersatukan kita di atas ukhuwwah Islamiyah yang selalu berusaha untuk dikoyak oleh syaitan dan para pengikutnya. Kita harus mempunyai sikap lapang dada dalam perbedaan. Wallahu a’lam bish shawab.

#

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter