Ibadah Qurban:
Penguatan Tauhid dan Kepedulian Sosial
Oleh: Drs. H. Syamsul Hidayat, M.Ag.
Jamaah Idul Adha Rahimakumullah,
Dalam situasi yang penuh khidmat dalam kita mengagungkan Asma Allah, menyambut Hari Idul Adha 1431 ini, marilah kita bersama-sama bersyukur kepada Allah Swt., sambil terus berintrospeksi diri, sudah sejauh mana kita telah menunaikan kewajiban-kewajiban kita terhadap Allah Swt.
Selanjutnya marilah kita merenungkan dan menghayati firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah, dengan taqwa yang sesungguhnya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam Islam (penyerahan diri kepada Allah). (Ali Imran: 102)
Ayat tersebut mengandung tiga unsur yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia, yaitu: Iman, Taqwa dan Islam. Tiga masalah tersebut merupakan kajian esensial yang menyentuh rohaniah sekaligus jasmaniah manusia atau menyangkut mental, spiritual dan moral. Hal mana merupakan identitas bagi hakikat dan nilai manusia.
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Hari Raya Idul Adha memiliki makna yang sangat dalam bagi kehidupan rohani sekaligus jasmani manusia.
Pertama, pada hari raya ini, bahkan sejak beberapa hari sebelumnya, jutaan umat manusia dari berbagai penjuru dunia mendatangi panggilan Allah untuk melaksanakan ibadah Haji. Mereka bersatu padu dalam irama talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْك، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Kemudian disertai dengan prosesi ibadah Hajji yang secara umum merupakan pelestarian dari ajaran nabi-nabi terdahulu, terutama mansak Nabi Ibrahim, yang sering dijuluki sebagai Abul Anbiyya (Bapak para Nabi) atau Khalilullah, kekasih Allah.
Kedua, bagi mereka yang tidak melaksankan Hajji, diperintahkan untuk melaksanakan ibadah Idul Adha. Mulai puasa di hari Arafah, menyertai jemaah hajji yang sedang wukuf, membaca takbir selama lima hari berturut-turut, shalat Id, dan menyembelih binatang kurban bagi yang memiliki kelonggaran rizki. Dalam ibadah ini manusia diajak oleh syariat Islam, untuk meneladani dua kekasih Allah, yakni Nabi Ibrahim A.S. dan Nabi Ismail A.S. yang telah lulus dari ujian yang maha berat.
Betapa tidak berat, pada kisah yang agung itu, Ibrahim yang telah lama merindukan datangnya seorang putra, hingga usianya yang lanjut ia harus mengalami pengalaman yang pahit. Sang anak yang dirindukannya berpuluh tahun itu, setelah menginjak dewasa dan menarik hatinya oleh Allah disuruh agar disembelihnya. Kisah ini ditunjukkan sangat jelas oleh firman Allah:
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku anak yang salih.
Maka kami beri dia khabar gembira dengan hadirnya anak laki-laki yang amat halus perangainya. Maka tatkala anak itu telah mencapai umur dewasa, maka Ibrahim berkata kepadanya: "Wahai anakku sesungguhnya aku bermimpi diperintahkan agar aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? Ia menjawab: "Wahai ayahku, laksanakan apa-apa yang diperintah Allah kepadamu, insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai oang yang sabar".
Tatkala keduanya telah berserah diri (kepada Allah) dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya.
Kami panggilah dia: Wahai Ibrahim, sesungguhnya telah kamu benarkan mimpi itu, Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada yang-orang yang berbuat ihsan.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Dan Kami abadikan untuk ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,
Keselamatan untuk Ibrahim,
Demikianlah Kami memberi balasan buat orang-orang yang berbuat ihsan.
Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.
الله أكبر ولله الحمد،
Jamaah Idul Adha rahimakumullah,
Pada ayat tersebut diisyaratkan bahwa Ibrahim dan Ismail diuji dengan ujian yang amat berat, karena ia harus menghadapi dilema pilihan yang sama-sama berat, yaitu antara iman dan eman. Memilih iman berarti ia harus menyembelih anak yang sangat dicintainya. Dan kalau memilih eman, maka berarti ia tidak tunduk kepada Allah. Begitu juga Ismail, jika ia memilih iman berarti ia harus merelakan jiwanya untuk disembelih, dan jika memilih eman tentu ia termasuk orang-orang yang ingkar terhadap Allah. Namun, keduanya telah memenangkan imannya di atas eman-eman yang menghantuinya. Mereka berdua pun dengan penuh keikhlasan dan kesabaran tunduk melaksanakan perintah Allah.
Namun, ketika mereka telah memulai melaksanakan perintah itu, Allah pun memanggilnya dan melarang pelaksanaan penyembelihan tersebut, dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar. Kemudian peristiwa ini diabadikan oleh Allah dengan disyariatkannya ibadah Qurban atau udhiyah.
Ma'asyiral Muslimin, rahimakumullah,
Ibadah qurban adalah ibadah yang disunnahkan bagi setiap muslim yang memiliki kelonggaran rezeki dalam bentuk menyembelih binatang qurban, yang selanjutnya, selain dimakan sebagiannya, dibagikan kepada umat disekelilingnya, terutama mereka yang sangat memerlukan, yaitu kaum dhuafa dan fakir miskin.
Namun, marilah kita mengambil makna yang lebih dalam dari ibadah qurban tersebut. Tidak sekedar tradisi menyembelih binatang dan membagikan dagingnya. Tetapi kita lakukan setidaknya dua hal, yaitu:
Pertama, menelusuri makna kalimah dan istilah qurban itu sendiri, dan kedua, mengambil essensi dari kisah agung yang dialami oleh Ibrahim dan Ismail di atas.
Istilah qurban dalam bahasa Al-Quran artinya dekat, yakni dekat dan mendekatkan diri kepada Allah. Mendekatkan diri kepada Allah adalah essensi semua ibadah yang dituntunkan Islam, baik ibadah khusus maupun umum. Karena hakekat ibadah adalah mendekatkan diri kepada-Nya dengan menjalankan dan tunduk kepada perintah-Nya dan menjauhi semua laranganNya, serta menjalankan segala yang diijinkan oleh-Nya, melalui ajaran Rasulnya, Muhammad SAW.
Maka sungguh tepat pernyataan Allah yang menegaskan bahwa dalam ibadah qurban itu bukanlah daging-daging sembelihan qurban itu yang akan sampai kepada Allah, tetapi ketaqwaan orang yang berqurban itulah yang akan sampai kepada Allah.
Dan Kami telah jadikan untuk kalian unta-unta itu bagian dari syiar Allah, yang didalamnya kamu mendapatkan kebaikan yang banyak. Maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati) makan maknlah sebahagiannya dan berilah makan orang yang rela apa adanya (tidak minta-minta) dan orang-orang yang minta-minta. Demikianlah kami tundukkan unta-unta itu bagimu agar kalian bersyukur.
Daging-daging sembelihan itu tidak akan sampai kepada (ridha) Allah, tetapi ketaqwaanmulah yang akan sampai kepada Allah. Demikianlah Allah menundukkannya untukmu, maka hendaklah kamu mengagungkan Allah atas apa yang telah ditunjukkan kepadamu, dan berilah kabar gembira orang-orang yang berbuat ihsan. (Al-Hajj: 36-37)
Maasyiral Muslimin rahimakumullah,
Ayat tersebut mengandung isyarat yang sangat jelas agar kita menggali lebih dalam makna ibadah qurban dan menarik makna tersebut dalam prilaku dan kehidupan sehari-hari. Ayat tersebut menegaskan bahwa dalam ibadah qurban terdapat unsur-unsur:
1. Pentingnya syi'ar agama Allah.
2. Mengakui kebesaran Allah dan kelemahan diri adalah bagian terpenting dari syi'ar Allah tersebut.
3. Penegakan solidaritas sosial kepada sesama umat Islam, khususnya, dan seluruh manusia pada umumnya.
4. Kunci ridha Allah adalah ketaqwaan kepadaNya.
Selanjutnya apabila dikaitkan dengan makna yang terkandung dalam kisah qur'ani di atas, maka kita akan mendapatkan pelajaran yang amat tinggi nilainya, yaitu kita harus mengupayakan diri secara maksimal untuk menomorsatukan Allah di atas segala-galanya. Karena kalau kita menomorsatukan Allah, maka Allah akan mengganti segala pengurbanan yang kita lakukan dalam rangka menomorsatukan Allah itu dengan yang lebih baik.
Menomorsatukan Allah berarti menegakkan Aqidah Tauhid sebagai aksis dan sentra kehidupan kita. Dengan tegaknya aqidah tauhid, kita dapat mewujudkan umat tauhid, yaitu umat yang dijelaskan oleh Al-Quran dalam sifat-sifat antara lain:
1. Terwujudnya pribadi yang diridhai Allah, yaitu pribadi muslim yang paripurna, penuh dengan moralitas, iman, islam, taqwa dan ihsan. (Al-Baqarah: 177).
2. Terwujudnya keluarga dan rumah tangga yang diridhai Allah, yaitu rumah tangga yang sakinah yang diliputi mawaddah dan rahmah, sebagai anugerah Ilahi. (Al-Rum: 21).
3. Terwujudnya qaryah (lingkungan kampung, desa, kampus, komplek/tempat kerja, pasar dan seterusnya) yang marhamah, yaitu kompleks yang kondosif dan "layak" menerima berkah Allah dari berbagai arah, karena warganya beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. (QS. Al-A'raf: 96).
4. Terwujudnya baldah (negeri atau negara) yang diridhai Allah, yaitu baldah yang thayyibah, dan diliputi maghfirah Allah SWT. (QS. Saba': 15).
5. Terwujudnya peradaban dunia yang diridhai Allah dunia yang hasanah yang (hasanah fi al-dunya) berkesinambungan dengan akhirat yang hasanah (hasanah fi al-akhirah) (QS. Al-Baqarah: 201; Al-Qashash: 77).
Dengan tegaknya umat tauhid sebagaimana dikemukakan di atas, insya Allah berbagai ujian dan krisis yang menimpa kita akhir-akhir ini akan dapat diatasi atau setidak-tidaknya membuat kita tabah dan tahan uji dalam menghadapi krisis tersebut, atas ijin dan perkenan Allah.
Sidang Jamaah Ihwanul Muslimin, rahimakumullah,
Demikianlah khutbah yang dapat saya sampaikan, dengan harapan akan dapat mendorong diri saya pribadi dan para jamaah sekalian untuk terus bangkit menegakkan kalimat tauhid dan mewujudkannya dalam kehidupan nyata sebagaimana dituntunkan oleh Risalah Islamiyah, yang dibawa oleh para Nabi dan rasul Allah, khususnya Rasulullah terakhir penyempurna seluruh risalah, Muhammad SAW.
Semoga Allah senantiasa memperkenan harapan dan doa kita. Amien, Ya Rabbal Alamien.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وعَلَى آلِهِ وأَصْحَابِهِ ومَنْ تَبِعَهُ اِلىَ يَوْمِ الدِّينِ وَارْحَمْناَ مَعَهُم بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن. أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسلِمِينَ والمُسْلِمَاتِ، والمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ، الاَحيَاءِ مِنهُمْ والاَمْواتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْب الدَّعَوَات، فَيَا قَاضِيَ الحَاجَاتِ . اللَّهُمَّ نَوِّرْ قُلُوبَنَا بِنُورِ هِدَايَةِ القُرْآنِ، وَثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلىَ الـتَّوْحِيْدِ وَالاِيْمَانِ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ بَلَدَنَا هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ. رَبَّنَا آتنَا فىِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، رَبَّنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا دُعَاءَنَا إِنَّكَ أنَتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ . وَ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Tags:
Khutbah Id