-->

'Uzlah

‘Uzlah

Al-Hikam Pasal 12


مانفعَ القَلبَ شَيءٌ مثلُ عُزْلةٍ يَدْخُلُ بها ميدان فِكرةٍ

"Tidak ada sesuatu yang sangat berguna bagi hati [jiwa], sebagaimana menyendiri untuk masuk ke medan tafakur."


Syarah

Seorang murid/salik kalau benar-benar ingin wushul kepada Alloh, pastilah ia berusaha bagaimana supaya hatinya tidak lupa pada Alloh, bisa selalu mendekatkan diri kepada Alloh. Dalam usaha ini tidak ada yang lebih bermanfaat kecuali uzlah (menyendiri dari pergaulan umum), dan dalam kondisi uzlah murid mau Tafakkur(berfikir tentang makhluknya Alloh, kekuasaan Alloh, keagungan Alloh, keadilan Alloh dan belas kasih nya Alloh) yang bisa menjadikan Hati timbul rasa takdhim kepada Alloh. Menambah keyaqinan dan ketaqwaan kepada Alloh.

Adapun bahayanya murid yang tidak uzlah itu banyak sekali,

Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Perumpamaan seorang sahabat yang tidak baik, bagaikan pandai besi yang membakar besi, jika kamu tidak terkena oleh percikan apinya, maka kamu terkena bau busuknya."

  Alloh Ta'ala mewahyukan kepada Nabi Musa alaihissalam: "Wahai putra Imran! Waspadalah selalu dan pilihlah untuk dirimu seorang sahabat [teman], dan sahabatmu yang tidak membantumu untuk membuat taat kepada-Ku, maka ia adalah musuhmu."

Dan juga Alloh mewahyukan kepada Nabi Dawud alaihissalam: "Wahai Dawud! Mengapakah engkau menyendiri? Jawab Dawud: Aku menjauhkan diri dari makhluk untuk mendekat kepada-Mu. Maka Alloh berfirman: Wahai Dawud! Waspadalah selalu, dan pilihlah untukmu sahabat, dan tiap sahabat yang tidak membantu untuk taat kepada-Ku, maka itu adalah musuhmu, dan akan menyebabkan membeku hatimu serta jauh dari-Ku."

  Nabi Isa alaihissalam bersabda: "Jangan berteman dengan orang-orang yang mati, niscaya hatimu akan mati. Ketika ditanya: Siapakah orang-orang yang mati itu? Nabi Isa memjawab: Mereka yang rakus kepada dunia.”

 Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang paling aku khawatirkan pada umatku, ialah lemahnya iman dan keyakinan."

  Nabi Isa alaihissalam bersabda: "Berbahagialah orang yang perkataanya dzikir, diamnya tafakur dan pandangannya tertunduk. Sesungguhnya orang yang sempurna akal ialah yang selalu mengoreksi dirinya, dan selalu menyiapkan bekal untuk menghadapi hari setelah mati."

  Sahl at-Tustary radhiallahu 'anhu berkata: "Kebaikan itu terhimpun dalam empat macam, dan dengan itu tercapai derajat wali [di samping melakukan semua kewajiban-kewajiban agama], yaitu: 
1. Lapar. 
2. Diam. 
3. Menyendiri 
4. Bangun tengah malam [sholat tahajjud].

Uzlah di Akhir Zaman

ﺑَﺎﺩِﺭُﻭﺍ ﺑِﺎﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝِ ﻓِﺘَﻨًﺎ ﻛَﻘِﻄَﻊِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﺍﻟْﻤُﻈْﻠِﻢِ ﻳُﺼْﺒِﺢُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎ ﻭَﻳُﻤْﺴِﻲ ﻛَﺎﻓِﺮًﺍ ﺃَﻭْ ﻳُﻤْﺴِﻲ ﻣُﺆْﻣِﻨًﺎ
ﻭَﻳُﺼْﺒِﺢُ ﻛَﺎﻓِﺮًﺍ ﻳَﺒِﻴﻊُ ﺩِﻳﻨَﻪُ ﺑِﻌَﺮَﺽٍ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ

“Bersegeralah kalian melakukan amal shalih sebelum datangnya berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu pagi seorang masih beriman, tetapi di sore hari sudah menjadi kafir; dan pada waktu sore hari seseorang masih beriman, kemudian di pagi harinya sudah menjadi kafir. ” [HR. Muslim no. 169, Tirmidzi no. 2121, dan Ahmad no. 7687.]

Ahmad Thomson menyebutkan tiga macam pola dasar pengelompokan sosial. Pertama, masyarakat pedalaman sederhana yang hidup selaras dengan alam namun tidak mengikuti syari’at kenabian dalam peribadatan. Kedua, masyarakat Islam yang selaras dengan alam dan mengikuti syari’at kenabian.
Ketiga, masyarakat kafir yang hidup tidak selaras dengan alam semesta dan sengaja menolak syariat Sang Pencipta.

Masyarakat pertama perlahan semakin menghilang seiring laju perkembangan teknologi dan informasi, walaupun eksistensi mereka akan tetap ada namun mayoritas kita tidak berada di kelas itu.

Adapun jenis kelompok kedua, gambaran yang paling ideal terjadi pada generasi terbaik umat Islam; sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka bisa selaras fitrahnya dengan lingkungan dan pada saat yang sama juga menjadikan keselerasannya dengan alam semesta dalam bingkai ibadah kepada pencipta alam semesta. Pada kehidupan mereka terdapat sistem hidup yang mengandung kecukupan dan keberkahan, materil dan non materil.

Kelompok kedua ini menjadikan dunia sebagai ladang menanam amal untuk memetik kebahagiaan yang sesungguhnya di akhirat. Karenanya mereka tidak mengeksplorasi alam semesta dengan semangat ketamakan dan eksploitasi, melainkan agar sarana menegakkan agama ini makin mudah dan efektif.

Mereka tidak merusak hutan atau menambang isi bumi secara brutal yang di kemudian hari menyisakan persoalan bagi anak cucu mereka. Sebaliknya langit dan bumi mendatangkan keberkahan dalam semua yang mereka lakukan. Syariat kenabian yang mereka jadikan sebagai dasar pijak dan petunjuk arah, telah membuat tujuan dari semua yang mereka lakukan menjadi terang dan jelas. Karenanya mereka kaya dan makmur dengan sebenar-benarnya. Dunia telah mengikutinya, bahkan berada dalam genggaman tangannya. Sementara hatinya tetap bebas untuk tunduk dalam kendali syariat pencipta dunia itu.

Kepada kelompok kedua ini Allah jadikan Iblis tak berdaya untuk menggodanya. Badai api fitnah pun padam tak kuat untuk menyala. Bahkan Allah jadikan musuh-musuh mereka lumpuh tak berdaya.

Sebagian tertunduk lesu tanda menyerah kalah dan sebagiaannya ’terpaksa’ masuk dalam barisan mereka karena pribadi mereka terlalu mulia untuk ditentang. Demikianlah kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada kelompok manusia yang hatinya selaras dengan semesta dan jiwanya tunduk kepada syariat Sang Pencipta.

Adapun masyarakat ketiga, inilah jenis masyarakat yang paling mendominasi dunia; masyarakat yang bermusuhan dengan alam semesta dengan beragam aktivitas eksploitasi alam -juga manusianya- secara liar, dimana semua itu dilakukan untuk memenuhi nafsu mereka dan dalam rangka menentang syari’at pencipta mereka. Inilah masyarakat kafir yang kehidupan mereka tunduk di bawah kendali Iblis melalui sistem Dajjal dan kaki tangannya.

Inilah era di mana kita hidup, era yang tanpa sadar menyeret kaum Muslimin untuk masuk dalam pusaran permainan mereka untuk selanjutnya mustahil bisa keluar darinya. Pola hidup masyarakat kelas ini telah menjadi sesuatu yang sistemik, berlaku secara global dan menjangkau seluruh bidang kehidupan manusia. Politik, sosial, ekonomi, budaya, militer, pemikiran dan peradaban, semuanya berada dalam kendali sistem kufur ini.

Inilah zaman yang oleh nabi disebut sebagai zaman fitnah, zaman yang semua sistem kenabian telah dijurkirbalikkan, norma dan nilai kebenaran dirusak tanpa ada yang tersisa. Sangat berat hidup di era ini; era dajjal, era dimana seluruh masyarakat dunia telah buta, yang karenanya si mata satu merasa pantas menjadi raja. Lantas, apa yang dapat kita perbuat?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “ Sebaik-baik manusia pada masa terjadinya kekacauan adalah seorang laki-laki yang memegang tali kendali kudanya di belakang musuh Allah. Ia membuat mereka gentar dan mereka juga membuatnya gentar. Atau seorang laki-laki yang mengasingkan diri di daerah pedalaman, dengan menunaikan hak Allah atas dirinya. ” [HR. Al-Hakim dan Abu ‘Amru Al-Dani. Dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 698]

Pilihan pertama sangat cocok untuk penduduk negeri yang Allah karuniakan ibadah jihad. Adapun bagi kaum Muslimin yang berada di wilayah ‘damai’, maka pilihan kedua adalah solusi terbaik; ‘uzlah dengan tetap menunaikan hak Allah atas dirinya. Uzlah yang hak Allah tetap terpenuhi adalah ‘uzlah berjamaah’, membentuk komunitas yang memiliki kesamaan tujuan; menegakkan agama ini hingga bisa mewujudkan masyarakat yang selaras dengan alam semesta dan tetap tunduk kepada syari’at Allah swt. Wallahu a’lam bish shawab.

Mana Yang Lebih Utama, Uzlah Atau Bergaul Dengan Masyarakat?

Dizaman yang penuh fitnah ini, yaitu ketika fitnah syubhat dan syahwat begitu kerasnya menerpa, ketika kesyirikan menjamur, ketika maksiat tersebar dan dianggap biasa orang masyarakat, ketika sunnah dianggap asing dan bid’ah dianggap sunnah oleh mereka terkadang orang yang ingin berpegang teguh pada agamanya dihadapkan oleh dua pilihan: ‘ uzlah (mengasingkan diri) ataukah khulthah (tetap bergaul di tengah masyarakat)? Kita simak pembahasan berikut.

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Uzlah Demi Menjauhi Fitnah

Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﻨﺎﺱِ ﻓﻲ ﺍﻟﻔِﺘَﻦِ ﺭﺟﻞٌ ﺁﺧِﺬٌ ﺑِﻌِﻨﺎﻥِ ﻓَﺮَﺳِﻪ ﺃﻭْ ﻗﺎﻝ ﺑِﺮَﺳَﻦِ ﻓَﺮَﺳِﻪ ﺧﻠﻒَ ﺃَﻋْﺪَﺍﺀِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳُﺨِﻴﻔُﻬُﻢْ ﻭ ﻳُﺨِﻴﻔُﻮﻧَﻪُ ، ﺃﻭْ ﺭﺟﻞٌ ﻣُﻌْﺘَﺰِﻝٌ ﻓﻲ ﺑﺎﺩِﻳَﺘِﻪ ، ﻳُﺆَﺩِّﻱ ﺣﻖَّ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﻌﺎﻟَﻰ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻠﻴﻪِ

“ Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah” (HR. Al Hakim 4/446, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311).

Sebagaimana juga dalam hadits,
ﻗﺎﻝ ﺭﺟﻞٌ : ﺃﻱُّ ﺍﻟﻨﺎﺱِ ﺃﻓﻀﻞُ ؟ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ! ﻗﺎﻝ ‏( ﻣﺆﻣﻦٌ ﻳﺠﺎﻫﺪ ﺑﻨﻔﺴِﻪ ﻭﻣﺎﻟِﻪ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ‏) ﻗﺎﻝ : ﺛﻢ ﻣﻦ ؟ ﻗﺎﻝ ‏( ﺛﻢ ﺭﺟﻞٌ ﻣُﻌﺘﺰﻝٌ ﻓﻲ ﺷِﻌﺐٍ ﻣﻦ ﺍﻟﺸِّﻌﺎﺏِ . ﻳﻌﺒﺪ ﺭﺑَّﻪ ﻭﻳﺪَﻉُ ﺍﻟﻨﺎﺱَ ﻣﻦ ﺷﺮِّﻩ

“Seseorang bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat'” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).

Bahkan andai satu-satu jalan supaya selamat dari fitnah adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ﻳُﻮﺷِﻚَ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺧَﻴْﺮَ ﻣَﺎﻝِ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻏَﻨَﻢٌ ﻳَﺘْﺒَﻊُ ﺑِﻬَﺎ ﺷَﻌَﻒَ ﺍﻟْﺠِﺒَﺎﻝِ ﻭَﻣَﻮَﺍﻗِﻊَ ﺍﻟْﻘَﻄْﺮِ ﻳَﻔِﺮُّ ﺑِﺪِﻳﻨِﻪِ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦِ

“ Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah ” (HR. Al Bukhari 3300).

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Untuk Bergaul Di Tengah Masyarakat

Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Diantaranya firman Allah Ta’ala :

ﻭَﺗَﻌَﺎﻭَﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺒِﺮِّ ﻭَﺍﻟﺘَّﻘْﻮَﻯٰ ۖ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻌَﺎﻭَﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢِ ﻭَﺍﻟْﻌُﺪْﻭَﺍﻥِ

“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ” (QS. Al Maidah: 2).

juga firman Allah Ta’ala :

ﻭَﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ ﴿١﴾ ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥَ ﻟَﻔِﻲ ﺧُﺴْﺮٍ ﴿٢﴾ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ ﻭَﺗَﻮَﺍﺻَﻮْﺍ ﺑِﺎﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﺗَﻮَﺍﺻَﻮْﺍ ﺑِﺎﻟﺼَّﺒْﺮِ ﴿٣ ﴾
“ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran ” (QS. Al Ashr: 1-3)

Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

ﺍﻟﻤﺆﻣﻦُ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺨﺎﻟﻂُ ﺍﻟﻨﺎﺱَ ﻭﻳَﺼﺒﺮُ ﻋﻠﻰ ﺃﺫﺍﻫﻢ ﺧﻴﺮٌ ﻣﻦَ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳُﺨﺎﻟﻂُ ﺍﻟﻨﺎﺱَ ﻭﻻ ﻳﺼﺒﺮُ ﻋﻠﻰ ﺃﺫﺍﻫﻢْ

“ Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka ” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).

Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam :

ﻓﻮﺍﻟﻠﻪِ ﻟَﺄﻥ ﻳُﻬﺪﻯ ﺑﻚ ﺭﺟﻞٌ ﻭﺍﺣﺪٌ ﺧﻴﺮٌ ﻟﻚ ﻣﻦ ﺣُﻤْﺮِ ﺍﻟﻨَّﻌَﻢِ

“ Demi Allah, sungguh engkau menjadi sebab hidayah bagi satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Al Bukhari 2942) 

Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam :

ﺍﺗَّﻖِ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣﻴﺜُﻤﺎ ﻛﻨﺖَ ، ﻭﺃَﺗﺒِﻊِ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺌَﺔَ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔَ ﺗﻤﺤُﻬﺎ ، ﻭ ﺧﺎﻟِﻖِ ﺍﻟﻨﺎﺱَ ﺑﺨُﻠُﻖٍ ﺣَﺴﻦٍ

“ bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97).

dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Memahami dan Menggabungkan Dalil-Dalil

Jika kita melihat penjelasan para ulama, ternyata dalil-dalil di atas tidaklah saling bertabrakan. Juga dengan memahami pernyataan para ulama, kita bisa mengamalkan dan menggabungkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sehingga kita pun bisa bersikap dengan benar dan proporsional, tidak mutlak memutuskan untuk mengasingkan diri dan juga tidak mutlak memutuskan untuk bergaul di masyarakat yang buruk keadaannya.

Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat di bawa ke makna bahwa hal itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Dan sebaliknya, jika berkaitan dengan adanya pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran terhadap perintah-perintah agama maka uzlah. Adapun mengenai memutuskan untuk ijtima’ (berkumpul) atau iftiraq (memisahkan diri) secara lahiriah, maka orang yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya dan menjaga agamannya, maka lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat. Dengan syarat, ia harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah, senantiasa menebarkan salam, menjawab salam, memenuhi hak-hak sesama muslim seperti menjenguk orang yang sakit, melayat orang yang meninggal, dan lainnya (walaupun tinggal di masyarakat yang bobrok, pent). Dan yang dituntut dalam keadaannya ini adalah meninggalkan fudhulus shahbah (terlalu berlebihan dalam bergaul atau bermasyarakat). Karena hal itu dapat menyibukkan diri, membuang banyak waktu, sehingga lalai dari hal-hal yang lebih penting. Hal itu juga dapat menjadikan kegiatan kumpul-kumpul dimasyarakat sebagai kegaitan yang sampai taraf kebutuhan baginya untuk dilakukan pagi dan malam. Yang benar hendaknya seseorang itu mencukupkan diri bergaul di masyarkat (yang buruk) sebatas yang dibutuhkan saja, yaitu yang memberikan kelonggaran badan dan hati. Wallahu’alam . (lihat Fathul Baari, 11/333, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 45).

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: “para salaf berbeda pendapat mengenai hukum asal uzlah. Jumhur ulama berpendapat bahwa bergaul di tengah masyarakat (yang bobrok) itu lebih utama karena dengan hal itu didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal tersebarnya syiar-syiar Islam, memperkokoh kekuatan kaum Muslimin, tercapainya banyak kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling mengunjungi, dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, uzlah itu lebih utama karena lebih terjamin keselamatan dari keburukan, namun dengan syarat ia memahami benar keadaan yang sedang terjadi” ( Fathul Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

An Nawawi menjelaskan: “yang lebih rajih adalah merinci masalah bergaul di masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia tidak akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang ragu ia akan ikut bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya adalah uzlah . Sebagian ulama mengatakan, keputusannya tergantung keadaan. Jika keadaannya saling bertentangan juga, keputusannya juga masih perlu melihat waktu. Bagi orang yang memang diwajibkan baginya untuk bergaul di masyarakat karena ia sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka hukumnya wajib ‘ain atau wajib kifayah baginya. Tergantu keadaan dan kemungkinan yang ada. Adapun orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia masih bisa selamat di masyarakat tersebut dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau orang yang merasa dirinya masih aman namun ia merasa tidak bisa menjadi orang yang shalih, (maka boleh tetap bergaul di masyarakat). Ini selama tidak ada fitnah yang tersebar luas. Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan untuk uzlah . Karena di dalam masyarakat tersebut terjadi pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan mayoritas orang). Dan dalam keadaan ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan bagi ashabul fitan (pelaku keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk ashabul fitan pun terkena. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﻓِﺘْﻨَﺔً ﻟَﺎ ﺗُﺼِﻴﺒَﻦَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻇَﻠَﻤُﻮﺍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺧَﺎﺻَّﺔً ۖ ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺷَﺪِﻳﺪُ ﺍﻟْﻌِﻘَﺎﺏِ

“ Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. ” (QS. Al Anfal: 25) (dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: “apakah bagi orang yang berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik uzlah atau bergaul di tengah masyarakat?”. Beliau menjawab: “masalah ini walaupun para ulama khilaf, baik khilaf kulliy maupun khilaf haliy, namun yang benar adalah bergaul di tengah masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang terkadang diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan terkadang diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan melihat apakah dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun jika dalam bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul bersama orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat jum’at, shalat Id, shalat Kusuf, shalat istisqa, dan yang lainnya adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Demikian juga berkumpul bersama masyarakat dalam ibadah haji, dalam memerangi orang kafir, dalam memerangi kaum khawarij, (adalah hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika itu fajir. Walaupun diantara masyarakat itu ada banyak orang fajir. Demikian juga (diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang dalam hal-hal yang dapat menambah keimanan, karena ia mendapat manfaat dari kumpulan itu maupun ia yang memberi manfaat, atau semisal itu.
Dan semestinya seseorang memiliki waktu menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, shalat, ber- tafakkur , muhasabah , memperbaiki hatinya, dan hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua butuh bersendirian. Baik di rumahnya, – sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik tempat bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan pandangannya dan lisannya disana’ – , maupun di luar rumah.

Maka memutuskan untuk bergaul di tengah masyarakat secara mutlak, ini adalah kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri secara mutlak, ini juga kesalahan. Namun untuk menakar kadar mana yang lebih utama bagi seseorang apakah yang ini ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik baginya dalam setiap keadaan, ini sangat membutuhkan penelaahan keadaan masing-masing sebagaimana telah kami jelaskan” ( Majmu’ Al Fatawa , 10/425, dinukil dari Mafatihul Fiqh 47 – 48). Semoga bermanfaat. Referensi utama: Mafatihul Fiqhi Fid Diin , Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, hal. 43-48, cetakan Maktabah Al Makkah

Sumber:
- Syarah al-Hikam aplikasi
- Abu Fatiah Al-Adnani, Uzlah di Akhir Zaman, http://m.hidayatullah.com/kolom/akhir-zaman/read/2015/10/01/79760/uzlah-di-akhir-zaman.html

- Yulian Purnama, Mana Yang Lebih Utama, Uzlah Atau Bergaul Dengan Masyarakat?, https://muslim.or.id/19472-mana-yang-lebih-utama-uzlah-atau-bergaul-dengan-masyarakat.html

#

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter