Perjalanan Malam ke Baitul Maqdis
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam terus berdakwah. Khadijah dengan sabar terus mendorong suaminya itu sampai harta keluarga mereka habis. Tekanan semakin keras. Selama tiga tahun kaum Qurais mengucilkan orang-orang Islam. Mereka hanya dapat tinggal di celah-celah batu pebukitan dengan bergantung makan pada rumput-rumput kering.
Seorang Qurais, Hisyam bin Amir bersimpati pada keadaan orang-orang Islam itu. Ia menghubungi Zuhair dari Bani Makhzum, Muth'im dan Bani Naufal serta Abu Bakhtari dan Zam'a dari Bani Asad untuk menghentikan pengucilan itu. Ia ingatkan betapa buruk kelaparan yang diderita Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pengikutnya, sedangkan saudara-saudara lainnya hidup berkelimpahan.
Mereka lalu datang ke Ka'bah. Di dinding Ka'bah dicantumkan piagam pengucilan itu. Pengucilan tidak berlaku lagi bila piagam tersebut dirobek. Setelah mengelilingi Ka'bah tujuh kali, Hisyam mengumumkan rencana perobekan piagam. Abu Jahal menentangnya. Namun sebagian besar orang Qurais mendukung Hisyam. Ketika Hisyam hendak merobek piagam itu -demikian menurut riwayat-rayap telah menggerogoti piagam itu hingga tinggal bagian atasnya yang bertulis "Atas nama-Mu ya Allah".
Kaum Qurais sebenarnya tidak menolak menyembah Allah Sang Pencipta. Mereka hanya ingin dibolehkan untuk tetap juga menyembah berhala serta melaksanakan tradisi yang banyak diwarnai maksiat. Maka, persis setelah penghapusan piagam itu, mereka mengajak Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam berkompromi. Suatu malam, dalam pertemuan sampai pagi, mereka telah menyebut Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai "pemimpin kami". Mereka hanya minta sedikit kelonggaran menjalani kehidupan lamanya.
Sekali lagi, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia. Dalam keadaan yang sangat lemah baik fisik maupun psikis, ia nyaris menerima kompromi itu. Sebagaimana saat mengabaikan Ibnu Ummu Maktum, kali ini Muhammad ditegur Allah kembali. Yakni melalui ayat Quran Surat 17 (Al-Isra): 73-75. Namun hadis Ata' dari Ibn Abbas menyebut bahwa konteks turunnya ayat ini adalah peristiwa saat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bimbang atas permintaan orang-orang Thaqif. Mereka bersedia memeluk Islam asal daerahnya dinyatakan sebagai tanah suci seperti Mekah.
Tak lama setelah peristiwa itu, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengalami musibah besar. Abu Thalib -paman yang telah memeliharanya sejak kecil serta terus melindunginya sebagai rasul- wafat. Hanya beberapa bulan kemudian, Khadijah yang menjadi sandaran hati Muhammad -orang yang paling setia menghibur dan menemani di masa yang paling sulit sekalipun- menyusul wafat. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat berduka. Sedangkan orang-orang Qurais makin gencar mengganggunya.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu pergi Ta'if, menjajaki sekiranya masyarakat di daerah pertanian subur itu bersedia mendengar seruannya. Seorang diri ia pergi ke sana. Namun yang ditemui hanyalah sorak sorai hinaan serta lemparan. Dengan sedih Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghindar dari mereka dan berlindung di kebun anggur milik dua saudara 'Uthba dan Syaiba anak Rabi'a. Di sanalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memanjatkan doa kepiluannya. Hanya dengan Adas -seorang Nasrani budak Uthba' yang memberikan anggur padanya- Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sempat berbincang. Kabarnya, Adas sempat heran bagaimana Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenal nama (Nabi) Yunus anak Matta.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menikahi Aisyah, putri Abu Bakar, yang kala itu baru berusia tujuh tahun. Dalam kultur Arab, perkawinan adalah salah satu tradisi untuk mempererat persahabatan. Aisyah tetap tinggal di rumah ayahnya dan tidak digauli Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai beberapa tahun kemudian. Muhammad juga menikahi janda miskin Sauda. Suami terdahulu Sauda adalah seorang yang ikut hijrah ke Habsyi, lalu meninggal di Mekah. Dua perkawinan ini, juga yang lain, cukup menjelaskan latar belakang pernikahan-pernikahan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah Khadijah wafat.
Sekitar tahun 621 Masehi, terjadilah peristiwa Isra' Mi'raj. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tengah menginap di rumah keluarga sepupunya, Hindun binti Abu Thalib. Menurut Hindun, malam hari selesai salat terakhir, semua anggota keluarga tidur. Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pagi harinya, mereka salat bersama. Usai salat itulah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Ummi Hani (panggilan Hindun), saya salat akhir malam bersama kalian seperti yang kalian lihat di sini. Lalu saya ke Baitul Maqdis (Yerusalem) dan salat di sana, sekarang saya salat siang bersama-sama seperti yang kalian lihat."
Hindun minta Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tidak menceritakan kisah tersebut karena akan mengundang kegemparan. "Tapi saya harus ceritakan (ini) pada mereka," kata Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah pun menegaskan peristiwa itu dalam Surat 17 (Al-Isra)
Kegemparan pun terjadi. Sangat banyak kisah yang beredar mengenai peristiwa tersebut, baik dongeng sama sekali tanpa dasar maupun kisah yang berdasar. Di antara kisah tersebut adalah mitos 'Buraq' yang disebut kuda pirang dengan rumbai emas dan mutiara dan bersayap gemerlapan, Juga mengenai kesaksian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap berbagai jenis siksaan di akhirat; pertemuannya dengan para Nabi terdahulu, serta tawar-menawar antara Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Allah sehingga salat yang diwajibkan hanya 5 kali, bukan 50 kali, dalam sehari. Allah Maha Tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Yang menjadi perdebatan serius adalah bagaimana Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat menempuh jarak Mekah-Yerusalem hanya sekejap? Juga apakah yang melakukan perjalanan itu ruh Muhammad saja atau juga termasuk jasadnya. Pertanyaan yang wajar untuk tingkat pengetahuan masyarakat pada masa itu. Kini, teori Einstein dapat menjelaskan kebingunan tersebut. Dari Teori Relativitas dapat dijelaskan bahwa zat (termasuk tubuh manusia) akan berubah wujud menjadi enerji bila dibawa oleh enerji (termasuk malaikat). Sedangkan enerji dapat bergerak pada kecepatan yang sama dengan kecepatan cahaya, sekitar 300 ribu km per detik, sehingga jarak Mekah - Yerusalem dapat ditempuh dalam sekejap mata. Serupa dengan pemindahan singgasana Ratu Bilqis di masa Sulaiman.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam saat itu berusia 51 tahun. Perjalanan ke Baitul Maqdis serta Sidratul Muntaha itu kian mengobarkan semangat perjuangannya untuk menyeru seluruh umat manusia ke Jalan Allah. Apalagi, ia telah melihat sinar terang bagi Islam telah mulai terlihat di Yatsrib.
Tags:
Sirah Nabi